Mitos seputar Equity Crowdfunding (ECF)

Gunawan Aldy
4 min readFeb 17, 2021

ECF membuka jalan bagi investor yang selama ini sulit untuk mendapatkan akses investasi ke perusahaan tertutup yang bertumbuh pesat, yang selama ini hanya terbatas untuk beberapa orang yang memiliki ‘privilege’. Karena tergolong baru di Indonesia, tidak heran banyak kesalahpahaman yang berseliweran.

Photo by Manyu Varma on Unsplash

Bukan rahasia lagi bahwa investasi ke perusahaan tertutup dibatasi untuk mereka yang memiliki koneksi yang tepat dan modal yang relatif besar. Tidak seperti perusahaan publik yang sahamnya bisa anda beli melalui aplikasi sekuritas, membeli saham di perusahaan swasta hanya terbatas pada orang-orang yang berada dalam “circle” tertentu.

Seiring waktu, keuntungan yang dulu didapatkan oleh investor perusahaan publik kini bergeser menjadi keuntungan investor perusahaan tertutup. Keuntungan terbesar justru diraup oleh investor sebelum perusahaan melantai di bursa.

Sumber: Andreessen Horowitz, U.S. Technology funding — What’s Going On?

Bagi investor yang berorientasi pada laba, ECF dapat menjadi alternatif untuk mengeruk keuntungan dari perusahaan tertutup, sekaligus meminimalisir risiko dengan diversifikasi karena modal yang dibutuhkan untuk mendanai setiap perusahaan relatif sangat kecil.

Apa yang dimaksud dengan Equity Crowdfunding?

Equity crowdfunding adalah inovasi keuangan di mana anda dan sekelompok investor lainnya bisa berinvestasi ke bisnis, startup, dan UMKM secara patungan, dan mendapatkan saham sebagai imbalannya. Sebagai pemegang saham, investor pada perusahaan berhak atas keuntungan yang dicetak oleh perusahaan. Dengan demikian, investor yang tidak memiliki koneksi ke orang-orang yang mengendalikan perusahaan tersebut, dan investor yang memiliki modal terbatas pun kini dapat turut memiliki bisnis tersebut.

Karena tergolong sebagai “efek”, maka aturan yang diberlakukan lebih ketat daripada crowdfunding pada umumnya. Di Indonesia, Equity Crowdfunding dan Securities Crowdfunding diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 57/POJK.04/2020 tentang Penawaran Efek melalui Layanan Urun Dana Berbasis Teknologi Informasi.

Perusahaan yang menggalang dana berada di fase yang berbeda-beda pula. Ada yang baru di tahap awal (ide) dengan traction yang rendah, ada juga yang sudah mencetak penghasilan ratusan juta sampai miliaran per tahunnya. Anda dapat memilih jenis perusahaan sesuai dengan profil risiko.

Mitos-mitos ECF

Terlepas dari manfaat yang dapat dihasilkan melalui ECF, ada banyak informasi yang kurang tepat mengenai ECF. Di tulisan kali ini, penulis akan mencoba untuk meluruskan fakta mengenai ECF yang sering didengar atau terpikirkan.

  1. ECF digunakan oleh perusahaan yang tidak mampu mendapatkan pendanaan Venture Capital (VC)
    ECF adalah alternatif dari pendanaan tradisional untuk perusahaan, bukan sebagai pengganti.
    Di Amerika Serikat, banyak perusahaan yang terdaftar dalam platform ECF mendapatkan pendanaan dari VC terkenal, mulai dari Andreessen Horowitz (a16z), hingga Sequoia. VC dan angel investor menggunakan ECF sebagai sarana untuk diversifikasi dan mencari perusahaan yang akan menguntungkan mereka.
  2. Investasi di ECF membutuhkan modal besar
    Sama sekali tidak. Di LandX, misalnya, anda bisa membeli saham perusahaan hanya dengan modal mulai dari 1 juta rupiah saja.
  3. Investasi di ECF sangat berisiko
    Berinvestasi ke perusahaan di ECF memiliki risiko yang sama dengan apabila anda berinvestasi ke bisnis secara langsung. High risk, high reward. Semakin besar potensi keuntungan suatu bisnis, semakin tinggi juga risiko untuk gagal bisnis tersebut. Begitu pula sebaliknya, semakin kecil imbal hasil yang dihasilkan, semakin kecil juga tingkat risiko investasi ke bisnis tersebut.
    Untuk menghindari kerugian modal seutuhnya, anda bisa memilih perusahaan penerbit saham yang memiliki aset dasar (underlying asset). Sehingga apabila terjadi skenario terburuk (ketika bisnisnya tidak berjalan sesuai perkiraan), setidaknya anda sebagai investor masih memiliki aset dalam perusahaan tersebut, baik berupa properti, tanah, atau aset lainnya.
    Untuk meminimalisir risiko, anda dapat memilih perusahaan penerbit yang menjalankan bisnis konservatif, dan perusahaan penyelenggara ECF yang melakukan seleksi ketat bagi calon penerbit yang akan mendaftar. Selain itu, pilihlah penyelenggara ECF yang sudah berizin dan diawasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
  4. Angel investor ternama tidak berinvestasi ke penerbit dalam ECF
    Tidak benar. Jason Calacanis, Gill Penchina, Dave Morin, dan masih banyak lagi adalah deretan nama angel investor terkemuka yang berinvestasi ke perusahaan yang terdaftar dalam ECF. Seperti jawaban pada poin 1, VC dan angel investor melakukan diversifikasi dan mencari perusahaan yang akan menguntungkan mereka lewat ECF juga.
  5. ECF adalah solusi terakhir pendanaan bagi pengusaha
    ECF jauh dari pilihan terakhir. Bagi banyak pengusaha, mengumpulkan dana melalui ECF membawa banyak keuntungan. Pendanaan yang berhasil akan mendatangkan modal yang dibutuhkan untuk pengembangan usaha, menunjukkan daya tarik pasar terhadap produk, dan menjadi patokan untuk valuasi perusahaan (yang dapat dijadikan daya tawar pada tahap pendanaan selanjutnya, baik ke VC maupun angel investor).

Penulis adalah CBDO sekaligus Co-founder dari LandX, sebuah layanan Equity Crowdfunding yang berizin dan diawasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Isi artikel ini hanya ditujukan untuk kepentingan edukasi dan bukan rekomendasi untuk membeli, menjual, atau melakukan aktivitas lain-lain yang terkait dengan transaksi perdagangan atau investasi apapun.

Semoga bermanfaat. Apabila anda merasa artikel saya dapat bermanfaat untuk teman-teman anda, tolong bantu bagikan ke mereka ya. Terima kasih sudah membaca.

--

--